Bridget Finn


Harusnya aku jalani hari-hariku dengan lebih bahagia, di setiap biasan cahaya matahari yang menyengat dan setiap tetes hujan yang menetes diatas pakaian ku. Tapi aku hanyalah remaja seperti yang lain, ingin semua hal berjalan dengan baik. Teman-teman ku mengatakan betapa egoisnya aku, aku tak perduli. Setiap ada orang yang menurutku menggangu, maka akan ku lawan. Aku tak perduli perasaan orang lain, sering kali beberapa orang yang aku kenal menitikan air mata akibat ulah ku. Aku tak bisa berbuat banyak, aku sangat muda dan sangat bodoh.
Aku masih 16 saat pertama kali memasuki Youth High School, sekolah satu-satunya di kota yang ku tinggali. Oh iya, aku belum mengenalkan diriku. Nama ku Bridget Finn, aku tinggal bersama ibuku dikota Moon Hills. Aku adalah anak tunggal, aku sayang orang tuaku. Ketika aku masih berumur 8 tahun, aku adalah anak yang bahagia, ceria, dan sangat ramah. Saat itu lah aku percaya jika cinta itu adalah hal yang nyata dan amat membuat  bahagia, tetapi tidak saat umur ku 13 tahun. Ketika aku lihat dengan mata kepala ku sendiri bagaimana ayah menyiksa ibu, bagaimana caranya memukul ibu ku. Ayah ku selalu mengatakan bahwa ia sangat mencintai ibuku, tetapi kini ia bagai hewan buas, dan ibu ku adalah mangsanya. Ayahku adalah seorang pemabuk, saat menikahi ibuku ia mengatakan akan menghentikan kebiasaannya meminum minuman keras. Tetapi ternyata ia berbohong, kasihan ibuku. Satu tahun kemudian ibu ku menceraikan ayahku, dan aku ikut ibuku hingga saat ini. aku sayang ibuku, kehidupan kami semakin membaik. Tetapi aku masih melihat ada luka besar membekas di dada ibuku, semenjak bercerai sikap ibu ku berubah. Ia tidak seceria dulu, tidak sehangat dulu. Aku dapat memakluminya, aku tau bagaimana menyakitkannya perceraian itu untuknya. Untuk ku juga.
Perlahan-lahan aku menjadi pendiam, aku tak percaya siapapun atau apapun. Aku tak percaya lagi akan hal bernama cinta, bagiku cinta hanyalah kata tak berarti yang dikarang orang asing. Mungkin sekarang orang asing itu tengah memakan hatinya sendiri, siapa tau. Siapa perduli. Bagiku tak ada yang nyata, semua hanya hal semu yang dibuat-buat orang untuk membohongi dirinya sendiri. Aku tak perduli dengan perasaan orang lain, bahkan setelah membuat seseorang menangis karena kata-kata ku, aku pun tak merasakan apa-apa. Aku tak punya teman disekolah, tetapi jika teman adalah orang yang kau temui dikelas dan sekolah maka aku punya banyak. Tetapi tak semua mau menerimaku, hanya Hannah dan Jill lah yang bisa menerimaku. Aku pun tak tahu kenapa mereka bisa menerimaku, aku pikir mereka sudah kebal dengan bisa dimulutku. Aku dingin dan tak punya perasaan, jarang ada yang mau bermain denganku. Jadi ku lewati saja hari-hari dengan tanpa perasaan, hari datang dan pergi. Tak ada bedanya.
Aku sama sekali tak pernah menyangka bahwa semua akan berakhir, entahlah harusku sebut apa dia. Pangeran tampan, atau pembawa chaya, entahlah. Tetapi kenyataannya dia memang tampan, pasti otakku sudah hancur tertabrak truk saat itu…
Namanya Freddy Jones, ia adalah pria bermata coklat. Rambut hitamnya agak naik ala tintin. Well, aku tak bisa mendeskripsikannya, film kartun yang pernah aku saksikan hanya tintin. Ketika aku melihat rambut hitamnya yang menghadap ke udara aku hanya teringat tokoh tintin. Hari itu aku sedang di cafetaria, memakan makan siangku. Aku sangat damai saat itu, sama sekali tak ada yang berani mengganguku. Hingga saat sebuah gelas berisi susu jatuh tepat dipangkuanku, aku sangat marah saat itu. Aku mengumpat dan berbicara kata-kata kotor dan hal jahat. “maafkan aku, aku benar-benar tak sengaja. Aku akan membantumu membersihkannya jika kau mau.” Sosok pria berlutut dan mencoba membersihkan kaus ku, seketika seluruh cafetaria melihat ke arahku. Aku sangat kesal, aku lelah mengumpat hingga akhirnya aku hanya bisa menggeram. Mataku melotot ke arah pria itu, seakan-akan ingin keluar dari kelopaknya.
Aku beranjak dari tempat duduk ku, dan menuju toilet untuk membasuh pakaianku. Kutinggalkan pria itu, aku tak perduli dengannya. Kuharap dia ditabrak bus saja sepulang sekolah nanti. Dengan susah payah ku bersihkan noda susu dipakaian ku, tetapi ternyata air dari wastafel tak dapat membersihkannya. Nodanya terlalu pekat, aku hanya menahan marah hingga nafasku berat. “aku dapat membantumu membersihkannya jika kau mau.” Aku menoleh, ternyata pria itu sudah berdiri di pintu toilet. “yeah, kau dapat membantuku dengan tidak menumpahkan susumu ke pakaianku.” Balasku dengan nada kesal. “aku sudah minta maaf.” “maaf tak akan membersihkan pakaianku.” “sini ku bantu bersihkan.” Pria itu berdiri disebelahku, ia menunduk dan , memegang pakaianku lalu meremahnya di pancuran air. Aku sedikit canggung, tak ada pria yang pernah atau berani sedekat ini denganku sebelumnya. Begitu dekat hingga aku dapat melihat matanya yang coklat, mata yang indah. “sudah, aku dapat membersihkan sendiri pakaianku.” Ku tarik pakaian ku dari tangannya, ia mengangkat tubuhnya. Aku lalu meneruskan membersihkannya, tetapi sia-sia nodanya terlalu pekat. “kau tahu, sepertinya kau dapat menggunakan ini.” mengeluarkan sesuatu dari tasnya, tenyata sebuah pakaian. ”kakak ku meninggalkan pakaiannya di tas ku, ku pikir ukuranmu tak beda jauh dengannya. Pakailah.” Ia menyodorkan pakaian itu. “tidak terima kasih.” Ku tolak dengan kasar. “ayolah, anggap saja ini permintaan maaf. Kau bilang maaf tak bisa membersihkan pakaianmu, tetapi setidaknya pakaian ini bisa mengganti pakaianmu yang kotor.” Aku memandangnya, aku tak menyangka senyumnya sangat manis. Namun aku tetap menjaga raut wajahku, aku tak mau ia menyadari kekaguman ku. “baiklah, tapi ingat jika saja aku tak harus masuk ke kelas biologi setelah ini aku tak akan menerima pakaian ini.” aku melangkah menuju bilik toilet untuk berganti baju. “baiklah, aku terima itu. Ngomong-ngomong namaku Freddy Jones.” Aku tak menjawabnya. Aku hanya keluar bilik dan meninggalkannya di toilet. Aku bahkan tak melihat nya lagi ketika pergi.
Saat itu lah pertemuan ku dengannya yang pertama kali. Saat itu aku tak lagi berharap atau mau bertemu dengan nya lagi, aku hanya menggangapnya sebagai penggangu yang tak ingin ku temui lagi. Dan memang benar, aku tak bertemu lagi dengannya. Tetapi 2 minggu kemudian saat aku sedang dikelas biologi, aku merasa ada seseorang duduk didekatku. Ketika ku lihat, ternyata dia lagi. Aku sangat kesal melihatnya. “masih kurang kau menumpahkan susu ke pakaianku, sekarang kau mau apa? Melemparku dari jendela?” “hey, tenang. Aku tak akan sesadis itu, walaupun kau adalah orang yang paling menyebalkan disekolah ini.” “lalu kau mau apa?” ku lirik matanya dengan tajam, tetapi sekali lagi mata coklatnya membuat pandanganku buyar. “aku hanya ingin mengembalikan ini.” ia memberikan pakaian ku yang sudah terlipat bersih. “kau meninggalkannya di toilet waktu itu, dan sudah ku cuci bersih. Aku pikir sudah cukup permintaan maafku.” Perasaan marahku semakin luluh, sebaliknya aku merasa senang. “baiklah, ku terima permintaan maaf mu.” “ngomong-ngomong kau belum memberitahu namamu.” “nama ku Bridget Finn.” “nama yang bagus, aku Freddy Jones.” “aku sudah tau itu, kau sudah menyebutkannya.” “oh, baiklah.” “kau tau Bridget, bagaimana jika ku traktir kau nonton. Saat ini dikota sedang ada film yang bagus.” “tidak.” Ku jawab dengan singkat. “ayolah Bridget, anggap saja ini sebagai permintaan maafku yang terakhir.” Senyum menggembang di bibirnya. “baiklah. Sekarang bisakah kau pergi dari sini?” “okay,  ku tunggu kau di gerbang sekolah besok sore.” Ia pergi seketika.
Keesokan sorenya kami pergi ke bioskop, aku tak manyangka ternyata Freddy Jones adalah pria yang baik. Ia selalu membuatku tertawa dengan leluconnya, bertahun-tahun aku tak pernah lagi tertawa. Bahkan aku lupa bagaimana rasanya tertawa, aku berterima kasih kepadanya karena membuatku kembali tertawa. Mudah-mudahan ia mendengarnya. Hubungan kami semakin lama semakin dekat, Freddy selalu mengantarku pulang setelah sekolah. Aku sama sekali tak mengerti apa yang membuatnya nyaman terhadap wanita sepertiku, aku dingin dan buka teman yang baik. Aku bahkan sering menyakiti orang lain, tetapi sepertinya ia tak perduli. Aku pun nyaman terhadapnya, ingin sekali aku percaya sepenuhnya terhadapnya. Tetapi sebagian diriku mengatakan jangan percaya dengannya, ingat bagaimana ayahmu menyakiti ibumu. Tak ada yang sungguh-sungguh di dunia ini, semua hanya pembohong. Tetapi perlahan-lahan aku mulai melawan pikiran itu, senyum hangat dan mata coklat Freddy membuatku semakin lama semakin percaya. Aku tak bisa menepis satu kenyataan yang sekarang aku rasakan, kenyataan bahwa aku menyanyanginya.
Suatu malam ketika kami sedang berada ditaman, aku pernah menanyakan kepadanya mengapa ia mau menghabiskan waktu bersamaku. Ia hanya menjawab “kau mempunyai senyum yang indah, tapi sayang kau jarang tersenyum. Awalnya aku pun membencimu, bagaimana kau menyakiti orang lain atau bagaimana dinginnya kau dengan dunia. Tetapi kemudian saat aku mendengar apa yang kau alami, aku hanya berpikir mungkin kau wanita yang baik. Semua orang tak akan mampu menghadapi apa yang kau alami, dan aku dapat mengerti apa yang kau rasakan.” Ia mengatakannya dengan nada yang lembut, bahkan ia tak melihatku saat berbicara. Ia hanya melihat ke langit malam, padahal kami berbaring berdekatan, berbaring di rumput yang sama. Kemudian ia memandang wajahku, sebuah senyuman mengembang dari bibirnya. Seketika itu kepercayaanku kembali lagi, aku percaya bahwa diantara omong kosong yang sering kita dengar pasti ada satu kebenaran yang dapat kita percaya.
Aku seperti kembali hidup, aku seperti dapat bernafas lega. Kini aku punya tujuan, aku tau itu. Aku merasa dapat berlari sekencang-kencangnya untuk itu, mata coklat dan senyuman itu. Hari-hariku semakin baik, hampir setiap hari aku habiskan untuk menghibur ibuku. Aku tak akan selamat sendiri, aku harus menyelamatkan ibuku sama seperti Freddy menyelamatkan ku. Tetapi sayang aku tak dapat menyelesaikannya, aku tak pernah menyangka aku akan seperti ini.
Malam itu aku berjalan pulang bersama Freddy, setelah seharian penuh menghabiskan waktu di kota. Freddy mengantarkanku hingga sampai rumah, ia mengecup keningku sebelum kumasuki rumah. Ku lihat wajahnya yang terbias oleh cahaya lampu jalan sebelum ku tutup pintu, aku berjalan dengan senyum yang menggembang. Koridor rumahku sangat gelap waktu itu, pasti ibu ku sudah tidur, ku pikir begitu. Aku melangkah ke kamarnya untuk mengecup dahinya dan mengucapkan selamat tidur. Tetapi saat ku buka kamar ibu ku, aku melihat ayahku tengah menyayat leher ibuku dengan pisau dapur. Ibu ku sudah tergeletak bersimbah darah di tangan ayahku, wajah ayahku sangat menyeramkan, bahkan lebih menyeramkan dari yang pernah ku lihat. Air mataku mengalir saat melihat tubuh ibu ku yang sudah tak bergerak, ayahku menyeringai dan bangkit untuk mengejarku. ia mengatakan “kalian harus mati, tak ada yang boleh meninggalkanku.”
Aku berlari melewati koridor yang gelap, aku berlari sekencang-kencangnya. Ku dobrak pintu utama, aku berhamburan keluar. Aku dapat melihat ayahku mengejar ku dengan pisau dapur di tangannya, jantungnya seperti terbakar. Aku akan mati, mati ditangan ayahku sendiri. Tetapi aku tak mau menyerah, aku tetap berlari sekuat tenagaku dijalan yang sepi. Dari jauh aku melihat seorang berjalan sendiri didepanku, ternyata dia adalah Freddy Jones. Seketika aku berteriak padanya agar ia lari, ia menoleh dan terperanjat melihat aku berlari diikuti ayahku. Ia mengulurkan tangannya dan menarik ku agar aku berlari lebih kencang, disaat ajal akan menjemput pun ia memilih untuk memegang tangan ku. Ia tidak lari meninggalkanku, atau pun menyelamatkan dirinya sendiri. Ia tetap memegang tanganku, kami berlari sekuat tenaga. Ia memberikan ku semangat agar aku berlari lebih kencang, langkah kaki ku sudah semakin melambat. “lari Bridget, jangan melihat kebelakang.” Ia berteriak kearahku, aku tau aku tak boleh menyerah. Tetapi jantungku sudah seperti ditusuk-tusuk, air mataku mengalir dari mataku.
Hingga akhirnya kami sampai disebuah jembatan pembatas kota, aku sudah tak kuat lagi berlari. Aku dan Freddy terhenti ditengah jembatan, “tetaplah berlari Bridget, mungkin dia masih dibelakang.” “tapi aku sudah tidak kuat lagi.” “ ayolah Bridget, ku mohon.” Baru sekali itu aku melihat air mata jatuh dari mata coklatnya, ia benar-benar memohon. “baiklah.” Ku angkat tubuhku, dan bersiap berlari. Tetapi sayang pisau ayahku sudah terlebih dahulu menancap dipunggungku, dapat kurasakan nyeri sayatan di punggungku. Setiap kali ayahku mencabut dan menancapkan pisaunya di punggungku rasa sakit itu seperti meremukan tubuhku. Tetapi yang paling menyakitkan adalah saat melihat air mata jatuh dari mata Freddy, mata yang selama ini menghangatkan ku. Hal terakhir yang ku dengar adalah teriakan Freddy yang memanggil namaku, pandanganku semakin memudar. Hingga akhirnya ayahku melemparkan tubuh ku ke sungai, tubuh ku melayang diudara hingga akhirnya mengahantam air sungai yang dingin. Saat itu lah terakhir kalinya aku melihat Freddy, aku tak tahu apa yang ayahku lakukan terhadapnya. Aku rindu sekali dengannya, aku rindu mata coklatnya. Hingga saat ini aku masih menunggu di jembatan ini, hatiku hancur. Aku harus kehilangan orang yang baru saja menyelamatkanku, orang yang aku sayangi. Tetapi aku akan tetap menanti di jembatan ini, aku yakin dia akan datang kembali ke sini. Tiap malam aku memanggil-manggil namanya dari balik gelapnya malam, dan setiap malam selalu ku tanyakan keberandaan Freddy pada setiap yang lewat di dekatku. Tetapi sepertinya mereka tak mengerti, aku tak bermaksud menakuti mereka. Semakin lama semakin sedikit yang melewati jembatan ini dikala malam, hatiku memang hancur tapi aku tak berniat jahat. Aku pun tak menyalahkan mereka, mungkin rupa ku memang tak bisa mereka terima. Ayahku meninggalkan luka tikaman pisaunya yang menganga lebar dipunggungku, bajuku pun di penuhi noda darah. Hal paling mereka takuti adalah wajahku, aku masih ingat bagaimana kerasnya aku menghantam air. Bagaimana perihnya mataku saat menghantam air hingga darah memenuhi bola mataku, diantara dingin air sungai itu aku masih merasakan nyeri diwajahku akibat menghantam batu didasar sungai. Aku pikir wajahku hancur, hingga mereka tak lagi senang melihat ku.
Mereka menamai jembatan ini dengan namaku, mungkin karena setiap malam aku selalu terlihat dijembatan ini. aku yakin Freddy ada disuatu tempat, dan suatu hari ia pasti menemukan jalan untuk kembali ke jembatan ini. dia pasti tau jika aku selalu menunggunya disini, hingga kapan pun. Walaupun entah harus berapa tahun atau abad aku harus menunggu, aku tak keberatan. Aku yakin ditempatnya sekarang Freddy dapat mendengarku, seperti aku dapat mendengar desah nafasnya.
Freddy Jones, dimana pun kau berada saat ini. aku ingin kau tahu bahwa aku menyayangimu. Aku yakin kau tahu itu. Jika kau mendengarku, maka datanglah kepadaku. Jika kau tersesat ikuti suaraku, aku yakin kau dapat menemukanku. Aku tahu itu…

0 comments:

Post a Comment

About Me

My photo
Jakarta, Indonesia
Utari/Ut whatever you want| 97 Virgo| AB blood type| Girl with glasses| Lady Gaga and Lana Del Rey| Spain national football team| Trying to deal with life.
 

Viewers

Web Page Counter

Date

Instagram photos